ELANGTOP,Diceritakan
bahwa Raja Bantar Angin yang bergelar Prabu Kelana Sewandana jatuh
cinta kepada putrid dari kerajaan Kediri yang bernama Dyah Ayu Dewi
Songgolangit. Oleh sebab api cinta yang tidak bias dipadamkan, maka
Prabu Kelana Sewandana kemudian mengutus Patihnya yaitu Pujonggo Anom
atau yang lebih dikenal dengan Bujang Ganong untuk melamar Dyah Ayu Dewi
Songgolangit. Dalam perjalanan menuju ke kerajaan Kediri, Bujang Ganong
dihadang oleh Singo Barong (seorang raja dari segala harimau yang
menjaga tapal batas kerajaan Kediri). Singo Barong mempunyai bentuk
tubuh yang tidak lazim yaitu orang yang berbadan manusia tetapi
berkepala Harimau. Prabu Singo Barong mendapat perintah dari Raja Kediri
untuk memeriksa atau melarang siapapun tanpa seijin sang Raja masuk ke
wilayah kerajaan Kediri.
Perjalanan
Bujang Ganong terpaksa berhenti di perbatasan kerajaan Kediri karena
dihadang oleh Singo Barong. Perang mulut antara keduanya sulit dihindari
sehingga memuncak menjadi perang fisik. Karena kesaktian dan
keperkasaan Singo Barong, Patih Bujang Ganong dapat dikalahkan dan
bertekuk lutut dikaki Singo Barong. Kemudian Singo Barong menyuruh
Bujang Ganong pulang ke kerajaan Bantar Angin dan melaporkan
kekalahannya.
Sesampainya
di kerajaan Bantar Angin, Bujang Ganong langsung menghadap Prabu Kelana
Sewandana. Mendengar kekalahan dan ketidak berhasilan utusannya, beliau
langsung marah dan memerintahkan Bujang Ganong untuk mengerahkan segala
kekuatan bala tentaranya untuk menyerang Singo Barong dan kerajaan
Kediri. Prabu Kelana Sewandana akan menghancurkan Kediri apabila Dyah
Ayu Dewi Songgolangit menolak lamarannya. Dalam perjalananya, Prabu
Kelana Sewandana diiringi suara bended an Gong yang riuh sekali dengan
maksud untuk member semangat kepada prajuritnya. Seperti perjalanan
sebelumnya, setelah sampai di tapal batas kerajaan Kediri, pasukan
Bantar Angin dihadang oleh Singo Barong dan bala tentaranya. Akhirnya
peranngpun terjadi dengan dahsyatnya. Ternyata kekuatan dan kesaktian
bala tentara Singo Barong sangat sulit dikalahkan oleh prajurit Bantar
Angin, sehingga Prabu Kelana Sewandana harus turun tangan sendiri.
Adu
kesaktian antara Prabu Kelana Sewandana dan Singo Barong berlangsung
seru dan mengagumkan. Keduanya sangat sakti mandraguna dan saling
serang. Prabu Kelana Sewandana sangat terpaksa mengeluarkan pusaka
andalannya yaitu Cemethi Samandiman. Dengan sekali cambuk Singo barong
langsung lumpuh kehilangan kekuatannya. Singo Barong menyatakan dan
mengakui kekalahannya dan takhluk kepada Prabu Kelana Sewandana. Prabu
Kelana Sewandana tidak keberatan menerima takhlukan Singo Barong asalkan
mau menunjukkan jalan menuju ke Kerajaan Kediri dan membantu mewujudkan
cita – cita Prabu Kelana Sewandana. Dua pasukan itu bergabung di bawah
pimpinan Singo barong dan Bujang Ganong menuju kerajaan Kediri. Tanpa
perlawanan yang berarti, pasukan kerajaan Kediri dapat dikalahkan oleh
Pasukan Prabu Kelana Sewandana. Akhirnya Prabu Kelana Sewandana berhasil
mempersunting Putri Kediri Dyah Ayu Dewi Songgolangit.
Untuk memperingati perjalanan dan kemenangan Prabu Kelana Sewandana ini diciptakanlah suatu kesenian yang dikenal dengan REOG
KI AGENG KUTU
Legenda
kesenian reog ini merupakan sindiran atau satire sekaligus mempunyai
makna simbolis yang timbul pada masa Raja Bre Kertabumi yaitu raja
terakhir kerajaan Majapahit. Hal ini berawal dari menyingkirnya
penasehat kerajaan yang bernama Ki Ageng Ketut Suryo Alam dari Istana
Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre
Kertabumi telah menyimpang dari tatanan moral kerajaan. Penyimpangan
moral inilah yang dinilai awal dari kehancuran Majapahit, dimana
kebijakan politik Majapahit waktu itu banyak dipengaruhi oleh permaisuri
sehingga banyak kebijakan, peraturan Raja yang tidak benar. Ki Ageng
Ketut Suryo Alam menyingkir ke suatu daerah di selatan, yang bernama
Kutu. Suatu desa kecil yang masuk wilayah Wengker.
Kemudian
Ki Ageng Ketut Suryo Alam mendirikan sebuah padepokan yang mengajarkan
sikap seorang prajurit dan kesatria yang gagah dan perkasa. Seorang
prajurit harus taat kepada kerajaan dan sakti. Untuk menempuh tujuan
tersebut Ki Ageng Ketut Suryo Alam atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng
Kutu atau Ki Demang Kutu melarang muridnya berhubungan dengan wanita
(wadat). Menurut kepercayaanya, barang siapa melanggar ajaran tersebut,
kekuatan atau kesaktinnya akan berkurang, bahkan hilang sama sekali.
Untuk itulah muridnya harus tinggal di padepokannya. Kepemimpinan dan
padepokan Ki Ageng Kutu cepat menyebar dan popular ke beberapa daerah
lainnya.
Di
dalam padepokan tersebut, Ki Ageng Kutu merenung dan berfikir,
bagaimana strategi untuk melawan Majapahit yang dianggapnya meyimpang.
Dalam perenungannya muncul pendapat bahwa peperangan bukanlah cara yang
terbaik untuk menyelesaikan masalah, sehingga diciptakanlah sebuah
perlawanan secara psikologis dengan membuat kritikan lewat media
kesenian. Sebuah drama tari yang menggambarkan keadaan kerajaan
Majapahit, dan oleh Ki Ageng Kutu disebut REOG.
Ki
Ageng Kutu sebagai tokoh warok yang dikelilingi oleh para murid –
muridnya menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh masih tetap diperlukan
dan harus diperhatikan.
Pelaku
dalam Drama tari tersebut adalah Singo Barong yang mengenakan bulu
merak di atas kepalanya menunjukkan kecongkakan atau kesombongan sang
Raja, yang selalu diganggu kecantikan permaisurinya dalam menentukan
kebijakan kerajaan.
Penari
kuda atau Jathilan yang diperankan oleh seorang laki – laki yang lemah
gemulai dan berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat
keprajuritan kerajaan Majapahit. Tarian penunggang kuda yang aneh
menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan, ketidak
disiplinan prajurit terhadap rajanya, namun raja berusaha mengembalikan
kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan dengan penari kuda
(Jathilan) berputar – putarnya mengelilingi Sang Raja.
Seorang
pujangga kerajaan digambarkan oleh Bujang Ganong yang memili wajah
berwarna merah, mata melotot dan berhidung panjang menggambarkan orang
bijaksana, bernalar panjang tetapi tidak digubris oleh Raja sehingga
harus menyingkir dari kerajaan.
Setelah
Ki Ageng Kutu meninggal, kesenian ini diteruskan oleh Ki Ageng Mirah
pada masa Bathoro Katong (Bupati pertama Ponorogo) hingga sekarang. Oleh
Ki Ageng Mirah cerita yang berlata belakang sindiran tersebut
digantikan dengan cerita Panji. Kemudian dimasukkan tokoh – tokoh panji
seperti Prabu Kelana Sewandana, Dewi Songgolangit yang menggambarkan
peperangan antara kerajaan Kediri dan Bantar Angin
COPAS BLOG TETANGGA
TES BLOG Baru